Guru Zaman Now

Guru adalah salah satu profesi yang diberikan kepercayaan dan diyakini mampu mendidik dan mengajar anak bangsa. Sebagian orang memandang profesi guru sebagai profesi yang keren. Setiap hari selalu berpakaian necis; bersepatu mengkilat. Namun demikian, dalam perkembangan globalisasi ini guru juga wajib memenuhi tantangan zaman. Guru zaman now sudah tidak hanya dituntut mampu menulis menggunkan kapur tulis pada papan hitam, bahkan penggunaan spidol pun proporsinya sudah mulai berkurang. Pun, guru sudah tak lagi harus menjadi penjual obat; yang selalu menjelaskan dan siswanya hanya diam mendengarkan. Lalu apa tuntutan terkini kepada guru-guru kita? Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Melakoni banyak peran.
Guru zaman sekarang wajib mampu bertindak sebagai fasilitator, motivator, dan regulator, disamping manager. Berbeda dengan dulu yang mayoritas guru menjelaskan atau memberikan ceramah, sekarang pembelajaran berpusat pada siswa (students-centered).

2. Luwes/Flexible
Ruang belajar dewasa ini bukan hanya terbatas pada ruang kelas, tetapi juga di luar itu seperti halaman sekolah, taman, atau bahkan lapangan. Sehingga, guru zaman now dituntut mampu menyiapkan dan melaksanakan pembelajaran yang pada tempat-tempat selain ruang kelas tersebut.

3. Integrating ICT.
Tuntutan yang paling besar bagi guru zaman now adalah mereka harus mampu memanfaatkan penggunaan IT semaksimal mungkin untuk menunjang pembelajaran. Ini sangat penting untuk mengurangi peran guru sebagai penceramah, tetapi lebih kepada siswa yang menemukan dan mengkonstruksi pengetahuan dengan memberikan pengalaman belajar lewat teknologi informasi; video/audio/gambar yang ditampilkan pada LCD projector menggunakan perangkat komputer. Demikian 3 tuntutan utama untuk guru zaman now, agar tidak ditinggalkan oleh siswa. Anda siap?


Share:

Citra Orientasi

Terhitung sejak 01 April 2019, sudah sekitar 2.5 bulan Saya menjadi guru. Saya bertugas di salah satu SMP satu atap di kampung halaman Saya sendiri. Nusa Penida. Akhirnya. Setelah sekitar 7 tahun merantau, Saya pulang juga. Masa SMA Saya habiskan di jantung kota kabupaten Klungkung, Semarapura. Masa kuliah Saya habiskan di kota Pendidikan, Singaraja selama 4 tahun. Memulai bertugas di sekolah, Saya menemukan hal-hal baru yang berbeda dalam beberapa hal dibandingkan dengan masa Saya menjadi siswa di sekolah yang sama. Sekarang sekolah sudah memiliki gedung sendiri. Tidak lagi berbagi pakai dengan gedung SD seperti Saya dulu. Sehingga siswapun bisa masuk pagi. Kalau dulu Saya masuk siang karena paginya digunakan oleh siswa SD. Gedung baru sekarangpun sudah cukup luas. Ada 3 unit. 2 unit yang agak lama dan 1 unit baru selesai dibangun. Laboratorium katanya. Jumlah siswa juga cukup banyak meskipun tidak berbeda jauh dengan angkatan Saya dulu. Ada 1 rombel untuk setiap jenjang. Ada yang gemuk namun ada pula yang sedang-sedang saja. Yang jauh berbeda adalah jumlah guru-guru PNS yang ada. Sebelum Saya bersama CPNS lainnya masuk, guru PNS cuma ada 4 orang dan 1 orang kepala sekolah. Bersyukur sekali, 3 dari 4 orang guru PNS adalah dulunya Bapak/Ibu guru yang mengajar Saya 7-8 tahun silam. Saya bisa lebih leluasa bertanya dan berdiskusi. Dengan tambahan CPNS 4 orang, maka guru-guru PNS menjadi 8 orang. Kami lebih bisa bernafas lega.
Yang cukup membuat kami merasa tertantang adalah siswa-siswanya. Kalau bisa dibilang banyak dari mereka sangat urakan. Baju tidak dimasukkan sudah menjadi tampilan biasa yang sering Saya lihat pada minggu-minggu pertama bertugas. Tidak memakai ikat pinggang. Tidak menggunakan kaos kaki. Sepatu warna-warni. Saya menjadi tertarik. Apakah mereka seperti itu karena tidak tahu aturan yang ada di sekolah atau karena mereka sengaja melanggar untuk mencari perhatian guru? Apapun alasannya, enough is enough. Let's welcome a new era!


Share:

Kamu, Satu-satunya Pilihan

Pagi menjelang siang. Jam tangan Nanda menunjukan pukul 10.15 WITA. Sesaat setelah bel tanda istirahat berdering, Nanda meluncur ke perpustakaan. Ia hendak mencari referensi bacaan untuk membuat teks pidato yang akan dibacakan saat ujian praktik Bahasa Indonesia pada Senin depan. Keluar dari ruang kelas ia menuruni tangga, berbelok ke kiri, dan akhirnya tiba di perpustakaan. Lokasi perpustakaan dengan ruang kelasnya memang cukup dekat. Kelasnya berada di lantai 2, perputakaannya di lantai 1 tepat di bawah ruang kelasnya, dan tangga naik turunnya hanya beberapa langkah dari ruang kelasnya.

Sampai di perpustakaan, ternyata sudah banyak terdapat siswa lainnya. Mereka juga pada sibuk. Ada yang duduk membaca buku-buku sejarah. Ada yang sedang membaca ensiklopedia, cerpen, novel, maupun antologi puisi. Ada juga yang masih berdiri memilah-milah buku bacaan.

Nanda segera menuju rak buku. Ia melihat-lihat judulnya dengan sesekali mengeluarkan buku-buku tertentu dari susunannya yang begitu apik untuk membaca daftar isinya. Setelah beberapa saat, ia berhasil tertarik dengan satu buku. Diambilnya dan segera dibawanya buku tersebut ke pojok ruangan untuk dibaca. Tempat yang dikiranya sepi, ternyata juga sudah ditempati oleh beberapa orang. Nanda memilih duduk di meja paling pinggir, di samping seorang siswi. Siswi itu bernama Evi. Ia sempat sekelas dengan Nanda ketika dulu masih berada di Kelas X SMA. Namun semenjak kelas XI, mereka berpisah kelas. Nanda memilih kelas bahasa, sementara Evi kelas IPA.

Mereka berdua berteman baik. Meskipun mereka baru pertama kali kenal sejak baru masuk SMA, mereka segera bisa akrab. Bahkan bersama teman-teman sekelasnya dulu, Nanda beberapa kali membuat tugas kelompok di rumah Evi. Selain situasi rumah orang tua Evi yang tenang, pekarangannya juga rindang dan asri. Maklum kedua orang tua Evi adalah tenaga kesehatan yang tahu pentingnya menjaga produsen oksigen. Bapaknya, Pak Mika adalah dokter spesialis bedah di sebuah RSUD Mangun Waras. Ibunya, Bu Verawati adalah seorang bidan di puskesmas pembantu Ngardi Asri.

Nanda dan Evi memilih kelas berbeda bukan karena mereka kurang di bidang-bidang yang tidak dipilihnya. Nanda memilih kelas bahasa bukan karena lemah di hitung-hitungan atau ilmu sosialnya. Begitupula Evi memilih kelas IPA bukan karena lemah di bahasa dan kurang tertarik bersosialisasi. Mereka berdua punya cita-cita. Cita-cita itulah yang membuat mereka harus membuat pilihan. Bercita-cita menjadi seorang dokter spesialis mata, Evi harus mengambil kelas IPA. Sementara Nanda, yang dengan kondisi orang tua yang ekonominya lemah dan bapaknya yang sudah mulai sakit-sakitan, bercita-cita menjadi seorang tour guide. Sehingga ia bertekad untuk belajar bahasa asing. Ia begitu bersemangat belajar Bahasa Ingggris, Jepang, dan Mandarin.


Seraya bergegas duduk, Nanda menyapa Evi.
“Hai Vi, apa kabar? Udah dari tadi?”, sapa Nanda sambil tersenyum ke arah Evi yang pas menoleh ketika merasa ada orang yang mendekat.
“Eh Nanda, baik Nan. Cuma agak lumayan crowded nih akhir-akhir ini. Gak terlalu lama sih. Tadi kebetulan setelah selesai ngumpul tugas Fisika aku langsung kesini. Yah sekitar 15 menit yang lalu kayaknya. Kamu gak berubah ya, masih kutu buku.” Balas Evi.
Mendengar jawaban Evi, Nanda pun tersenyum malu. “Ah, gak juga Vi. Ni kebetulan mau nyari bahan buat teks pidato untuk Senin depan”.
“Untuk ujian Praktik Bahasa Indonesia? Dari Bu Yudi pasti ya?” Cerocos Evi.
“Iya nih Vi. Kamu disuruh buat pidato juga ya?” Nanda balik bertanya
“Sebenarnya beliau ngasi pilihan Nan, deklamasi puisi, musikalisasi puisi, atau berpidato. But, you know lah. Aku pengagum beratnya Bung Karno, so pasti aku pilih pidato.”
“Pasti bakalan keren kamu kalau berpidato ala beliau Vi. Hemm…dari 3 pilihan tu kok tetap ajj gak ada pilihan nama ku buat kamu” Goda Nanda.
“Apaan sih kamu Nan. Sana baca tuh, keduluan bel masuk lagi.” Balas Evi dengan wajah dibuat cemberut.
“Iya iya. Sekarang dah ni.”
Merekapun kembali membaca dalam hati. Sesekali Nanda mencatat poin-poin penting bacaan yang sedang dibacanya. Sementara Evi hanya membaca santai. Sepertinya ia hanya ingin mengisi waktu istirahatnya. Sesaat kemudian, Evi melirik jam di dinding perpustakaan.
“Cepat banget waktunya. Lagi 3 menit ajj dah bel masuk”. Kata Evi seolah berbicara sendiri.
“Biasa tu Vi, kalau waktu diisi dengan aktivitas maka ia berlari bak macan tutul. Coba kalau kita diem, lambatnya dah kayak siput”. Timpal Nanda.
“Ngomong-ngomong lulus dari sini lanjut kuliah dimana Vi? Tadi wali kelas ku bilang pendaftaran jalur SNMPTN sudah tutup kemarin loh.”.
“Aku daftar di UGM Nan. Doain yah semoga aku lolos” Jawab Evi.
“Wuih, pasti aku doain Vi, apa sih yang nggak buat kamu he he. Kapan pengumumannya Vi?” Tanya Nanda.
“Lagi 2 Minggu Nan. Tapi deg-degannya dah dari sekarang ni ha ha”
“slow ajj Vi. Pasti lolos kamu, nilai rapormu dari SD kan bagus semua”. Jawab Nanda.
“Yang dipakai kan Cuma dari SMA kelas 1 semester 1 sampai kelas 3 semester 1 Nanda.” Jawab Evi gregetan.
“Men kamu gimana Nan?”
“Untuk saat ini rencanaku setelah lulus langsung nyari kerja Vi. Kamu tahu kondisiku. Bukan bermaksud pesimis tapi aku realistis ajj. Semenjak Ibu ku meninggal 4 tahun lalu, Bapak sering sakit-sakitan Vi. Aku ndak ingin menambah beban Bapak.”  Balas Nanda.
Bel tanda masukpun berbunyi.
“Eh, sudah bel aja Vi. Padahal masih pingin ngobrol sama kamu”. Ucap Nanda sambil tersenyum.
“Besok lagi cerita-ceritanya Nan, lagipula aku juga setiap hari kesini dan kamu juga selalu ku lihat duduk di bangku ini. Semangat untuk ujian praktiknya ya. You can do it. Kontak WA mu masih yang dulu kan Nan?” Tanya Evi.
“Thanks Vi. Masih kok Vi. Jangan sungkan chat duluan ya he he” Goda Nanda.
Berbarengan dengan siswa lainnya merekapun berjalan memasuki kelas masing-masing. 
***
8 hari setelah pertemuan itu, seminggu setelah Pak Eko mengumumkan bahwa siswa yang belum membayar uang komite tidak bisa mengikuti ujian Nasional, Evi tak seharipun melihat Nanda di perpustkaan. Berbekal rasa penasaran, ia pun bertanya kepada salah seorang teman sekelas Nanda. Namanya Berto.
“Hey Ber, Nanda masuk gak hari ini?” Tanya Evi
“Gak Vi. Udah ada seminggu dia gak nongol-nongol”
“Kenapa dia Ber? Gak ada kabar sama sekali?”
“Gak ada Vi. Dan HPnya juga nonaktif terus. Bahkan WA ku dari seminggu lalu Cuma centang satu doang.” Tutur Berto sambal mengerutkan keningnya.
“Baiklah Ber. Thanks infonya yah. Semoga dia bisa segera masuk. Kasihan lagi 2 bulan doang toh”.
Evi pun pergi. Langkahnya gontai. Setelah berperang melawan isi kepalanya, Evi memberanikan diri berjalan menuju ruang bendahara sekolah. Setelah mengetuk pintu, iapun masuk kemudia duduk di depan meja Bu Vanesa.
“Ada apa Evi? Ada yang bisa ibu bantu?”
“Begini bu, Nanda anak IPB 2 sudah seminggu nggak masuk. Saya khawatir dia ndak masuk karena nunggak uang komite Bu.”
“Nanda memang ada nunggak beberapa bulan Vi. Tapi dia biasa gtu dari dulu. Dan kalau udah ada uang dia pasti cicil” Jawab Bu Vanesa.
“Kalau boleh tahu, berapa bulan dia nunggak Bu?”
“4 Bulan terakhir Vi, 800 ribu jadinya”
“Baik Bu, terima kasih infonya ya Bu. Kali ajj dia ndak masuk gara-gara nunggak sekian bulan dan uang komite bulan ini serta 2 bulan kedepan kan juga dah harus segera dilunasin Bu sebelum UN”.  
***
“Nanda, udah berapa bulan kamu ndak bayar sekolah mu nak?” Tanya Pak Raskin terbata kepada anaknya, Nanda.
“Sudah ada sekitar 4 bulan Pak. Gak apa-apa Pak. Saya sudah memutuskan mengurus Bapak saja dirumah. Bapak juga belum mendingan sampai sekarang.” Jawab Nanda.
“Kalau besok Bapak sudah agak mendingan, lagi 2 hari kamu harus sekolah Nak. Kejarlah. Lagi 2 bulan saja. Bertahanlah Nanda. Itu lebih berharga untukmu yang akan hidup lebih lama daripada Bapak.”
“Bapak jangan ngomong gitu. Nanti Nanda kembali ke sekolah kalau Bapak sudah agak mendingan yah.” Jawab Nanda.
***
Sesampainya di sekolah, Nanda di panggil untuk menghadap Pak Suwito, wali kelas IPB 2, wali kelasnya.
“Nan, Bapak tahu kondisimu. Tapi bapak mohon bertahanlah dan terus berjuang lagi 2 bulan ini. Selesaikan apa yang sudah kamu mulai 3 tahun lalu Nan. Bapak yakin kamu pasti bisa. Kamu ndak sendirian Nan. Banyak yang mendukungmu. Ni ada titipan dari bendahara sekolah buat kamu”. Tutur pak Suwito panjang lebar.
“Apa ini pak?” tanya Nanda penasaran.
“Nanti kamu buka saja sendiri. Bapak tidak buka tadi”.
Setelah disilakan keluar, Nanda kembali ke kelasnya. Naik tangga di depan perpustakaan ia sempat melihat Evi sedang serius membaca di pojok ruangan.
Sesampainya di kelas ia segera membuka lipatan kertas yang diberikan oleh Pak Suwito. Setengah tidak percaya, lama ia menatap kertas itu, yang ternyata kwitansi pembayaran SPP yang sudah lunas. Dengan penasaran, iapun ke bendahara sekolah menanyakan siapa yang membayarinya uang komite itu.
“Sudahlah Nan. Ia adalah warga sekolah kita. Tapi ia minta identitasnya disembunyikan. Ia Cuma berpesan agar kamu terus berjuang menamatkan pendidikanmu yang cuma lagi sebentar ini Nan” Jawab Bu Vanesa bendahara sekolahnya.
Nanda kembali ke kelasnya. Ia tak berhasil merayu Bu Vanesa untuk mengungkap orang yang baik hati, yang telah membantunya membayari SPP. Namun, dalam hatinya Nanda berjanji akan berusaha untuk memenuhi permintaan orang tanpa identitas itu. Ia harus lulus SMA.
***
Di perjalanan menuju rumah setelah mengantar tamu check in ke hotel, Nanda mengecek HP nya. Puluhan pesan WA masuk. Beberapa notif Facebook dan juga Instagram. Ia tertarik membuka pesan WA dari satu nomor baru yang belum pernah disimpan dikontaknya.
Dibukanya lalu dibacanya pesan itu.
Hai Nan,
Apa kabar? Semoga selalu sehat dan lancar kerjaannya.
Ni aku Evi, Nand. Mau ngabarin kalau aku wisuda lagi seminggu. Kalau bisa datang
ya. Biar aku ada pendamping nanti.
Aku tahu kamu orang baik dan ulet Nan, dulu ajj waktu SMA kamu berhasil memenuhi
permintaan ku untuk terus berjuang menamatkan sekolah yang lagi 2 bulan itu.
Sekarang kamu sudah ada dalam daftar pilihanku Nan, teratas dan satu-satunya.

Evi  

Dibacanya pesan itu hingga tiga kali oleh Nanda. Hingga akhirnya ia paham maksudnya.




Share:

Sihir Membaca

Membaca. Sebagaian orang, utamanya generasi Z, menganggap kata itu horor. Mereka membayangkan rangkaian kata dan kalimat yang tak berujung. Saking panjangnya bacaan. Akan tetapi sebagian lainnya begitu bersemangat mebayangkan betapa asyiknya berpetualang dalam untaian belantara kata itu.

Saya adalah satu dari mereka yang senang membaca. Saya senang membaca teks atau buku apa saja, terutama kisah fiksi. Cerpen dan Novel juga biografi. Ratusan cerpen, belasan novel, dan beberapa buah biografi sudah Saya baca.
Tentunya ada hal unik yang saya rasakan tatkala membaca. Petualangan. Ketika membaca cerita, yang kebetulan sudut pandangnya adalah orang pertama maka otomatis Saya akan menikmati petualangan imajinasi tokoh "Aku". Luar biasa. Terlebih bila ceritanya detektif. Bisa-bisa Saya yang hanya membaca bisa ikut gemetaran dan berkeringat dingin. Saya juga menikmati bak seorang pengamat/penonton bola bila sudut pandang ceritanya orang ketiga. Di luar cerita. Bayangkan saja bagaimana serunya menjadi penonton bola yang kadang-kadang kecewa, mendesah, berteriak, dan masih banyak lagi ekspresi lainnya. Betapa nikmatnya bepetualang. Bagaimana dengan kamu?


Share:

Pembunuh Tersadis

Setelah baca judul artikel ini, kalian pasti membayangkan seseorang yang sadis. Membawa pistol dan tanpa ba bi bu menembak kepala orang. Atau seseorang membawa pedang dengan entengnya menebas leher seseorang. Merobek perut hingga usus terburai. Memang betul mereka adalah gambaran pembunuh sadis. Seperti yang biasa kalian tonton di film-film action produksi dalam atau luar negeri. Tapi bukan pembunuh itu yang hendak saya kisahkan. Adalah pembunuh sadis tanpa senjata. Adalah pembunuh sadis yang membunuh bukan musuh di luar dirinya melainkan dirinya sendiri. Cukup aneh. Dan memang benar-benar aneh.
Pembunuh tersebut adalah ketakutan. Iya ketakutan. Karena takut kita tidak berani bertemu orang. Karena takut kita tidak berani ke pasar. Karena takut kita tidak berani belajar mengemudi. Karena takut kita kelu untuk mengutarakan pendapat. Karena takut kita tidak berani mencoba hal-hal baru. Dan banyak lagi akibat lainnya disebabkan oleh rasa takut. Ayo, mana lebih sadis antara gambaran orang-orang tersebut di awal atau rasa takut yang diam-diam membuat kita lumpuh?
So, bagaimana caranya mengatasi pembunuh sadis itu? Pastinya ada cara. Yang pertama dan utama adalah tahu bahwa rasa takut adalah pembunuh sadis. Dengan mengetahui hal itu, ketika kita merasa takut kita akan berusaha melawan perasaan itu. Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan mempersiapkan hal-hal yang diperlukan. Contohnya apa? Misalnya, ketakutan muncul ketika besok kita akan berpidato di depan massa. Ketika tahu bahwa takut adalah pembunuh pikiran tersadis yang akan melemahkan kita, maka kita harus lawan. Salah satu caranya adalah mempersiapkan bahan-bahan pidato dengan baik, berlatih berpidato sehingga pemenggalan-pemenggalan kata benar-benar dikuasi. Dengan melakukan persiapan-persiapan tersebut maka dapat dipastikan "pembunuh sadis" tersebut akan tak ada baunya lagi. Lenyap. Dan pembunuh sadis itu hanya akan abadi dalam imajinasi tanpa pernah terjadi.


Share:

Popular Posts

Ad Code

Responsive Advertisement

Ad Code

Responsive Advertisement

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *

Labels