Pentingkah Kesejahteraan Seorang Guru?


Seorang guru yang ingin saya bicarakan dalam hal ini adalah beliau yang mengajar dan mendidik kita di sekolah-sekolah formal baik negeri maupun swasta. Tidak bisa kita pungkiri dan sudah merupakan fakta bahwa dari kegigihan beliaulah kita bisa memiliki kemampuan dasar membaca, menulis, dan berhitung untuk selanjutnya menjadi penghubung kita untuk bisa mempelajari hal-hal yang lebih kompleks. Bahkan dalam mempelajari materi-materi lanjutanpun peran seorang guru tidak bisa diabaikan. Disamping itu, seorang guru juga sangat memiliki peran penting dalam menanamkan karakter-karakter yang adi luhung. Karakter-karakter tersebut seperti kejujuran, suka menolong/empati, tepo seliro, dll. 
Bertolak dari hal tersebut, maka apabila terdapat beberapa orang siswa yang ter-ekspose memiliki kemampuan yang kurang atau bahkan tidak bisa membaca, menulis, atau menghitung maka pihak/orang yang melintas pertama kali dikepala kita adalah seorang guru yang gagal. Apabila terdapat oknum siswa yang berlaku kurang beradab atau bahkan biadab maka guru juga menjadi pihak yang kepadanya kita tumpukan kegagalan pendidikan karakter. Sehingga, apabila memang demikian, maka tugas dan tanggung jawab moral seorang guru sangatlah besar dan vital. Dan apabila tugas serta tanggungjawabnya besar dan vital, sudahkah pemerintah memperhatikan profesi seorang guru terutama terkait kesejahteraannya?
Kita mungkin sepakat bahwa pemerintah sudah berupaya keras untuk menyejahterakan guru melalui kebijakan-kebijakan tertentu. Namun sudahkah pemerintah mencoba untuk melirik bagaimana guru di negara-negara maju yang begitu mengutamakan sektor pendidikan diperlakukan? 
Kesejahteraan seorang guru adalah sangat penting. Ini disebabkan karena ketika penghasilannya cukup baik (sejahtera), beliau bisa fokus untuk melaksanakan kewajibannya dalam mengajar dan mendidik sehingga terwujudnya kecerdasan anak bangsa. Waktu yang beliau gunakan untuk melakukan usaha-usaha sambilan karena tuntutan ekonomi (gaji sebagai guru tidak mencukupi) bisa dimaksimalkan untuk belajar, berexperimen, berinovasi dalam rangka memberikan kualitas pendidikan terbaik kepada para siswa. Bukan hanya itu, beliau juga memiliki cukup waktu untuk berinteraksi lebih banyak dengan parasiswa diluar jam sekolah seraya menanamkan nilai-nilai karakter bangsa kita yang adi luhung tersebut. Beliau tidak lagi panik karena diburu oleh tetangga yang menagih utang. Beliau juga bisa bangga melihat anak-anak didiknya yang berhasil menjadi siswa yang berprestasi atas bimbingan maksimal yang diberikan. Jika sudah seperti itu, maka terwujudnya generasi-generasi muda yang cerdas secara intelektual, social, dan spiritual bukanlah hal yang mustahil.
Bagaimana menurut kalian? Pentingkah kesejahteraan seorang guru? 
            

Share:

Surat untukmu, Kakak!

Secara tiba-tiba ketika sedang mencuci pakaian, mengingat kuliah jam ij kl tidak jadi dilaksanakan, pikiran saya melayang ke Desa Bakas, Desa dimana saya dan 17 orang teman-teman dari berbagai jurusan di Universitas Pendidikan Ganesha (UNDIKSHA) ber-Kuliah Kerja Nyata. Satu demi satu peristiwa yang kami lewati bersama dan figur-figur muncul di kepala sementara tangan tetap tegar mengayunkan sikat cucian. Muncul expresi serius Pak Mekel yang sejatinya menyembunyikan sifat humoris beliau. Muncul Pak Sekdes, yang begitu kentara menahan air mata saat kami perpisahan. Ibu Agung Anom, yang begitu hangat dan humoris, terima kasih senampan kopi dan jajan Balinya yang sesungguhnya kami garap berempat pas dekorasi perpisahan (hahaha). Pak De Ucung, yang selalu muncul dengan joke-joke-nya yang hangat (semoga belum melahirkan ya Pak). Pak Mur (Mr. Bagleg) yang begitu perhatian menengok kami ke posko, membelikan baby corn meskipun kami minta jagung bakar (wkwkwk), yang selalu siap jadi tempat penampungan kunjungan saya dan beberapa teman-teman (salam hormat untuk Ibu ya Pak). Wajah-wajah dan expresi warm and friendly dari mbo Erna, Mbo Kadek, Ibu Dayu, Bli Tut Sila silih berganti menari dalam pikiran saya. Terima kasih atas kehangatan yang Bapak/Ibu, Bli/Mbok berikan hingga saya masih merasakan kehangatan itu hingga kini.
Tak terasa, potongan baju terakhir selesai saya sikat. Saya pun bergegas membilas dan bersiap untuk ke jemuran. Namun apalah dayaku yang hanya manusia biasa yang masih belum mampu mengendalikan perasaan. Derap langkah dan teriakan-teriakan kecil adik-adik kami di rumah cerdas kembali bergaung disela-sela suara kibasan pakaian yang saya jemur. Senyum-senyum kegirangan mereka serasa begitu nyata didepan mata. Akupun teringat saat pertemuan formal kami di rumah cerdas, mereka membuat surat untuk kami. Ada beberapa yang secara khusus diberikan untukku.
Adik-adikku, izinkan kakak untuk mengabadikan coretan tangan tulus kalian pada halaman ini. Kakak takut, tulisan-tulisan yang mewakili hati kalian saat itu (semoga tetap sama sampai sekarang) digerus derasnya lembar-lembar tugas kuliah kakak yang semakin tanpa ampun. Berikut surat dari adik-adik yang masih kakak simpan.


  
Dari: Esti
I am so happy to meet you
When you teach me, when we laugh together.
When we do everything
Thank you so much
Let me express my gratitude to you
Thank you for your appreciation
You are quite cool and so wonderful
I hope you will be better in your future.


Dari: Ni Putu Eka Lastia Anjani
Kak Sastra,
Terima kasih untuk semuanya. Kak Sastra sangat baik sekali. Kak Sastra, aku sayang Kak Sastra. Terima kasih untuk belajar membaca. Kak Sastra sangat sabar, tidak pernah marah. Kalau aku nakal Kak tidak pernah marah. Aku sangat sayang Kak Sastra. Aku cinta Kak Sastra. Terima kasih Kak Sastra.


Dari: Sanela
Untuk Kak Sastra
Saya berterima kasih kepada Kak Sastra yang telah mengajar saya agar bisa belajar Bahasa Inggris. Mungkin saya belum bisa belajar Bahasa Inggris tapi saya akan belajar Bahasa Inggris seterusnya agar bisa seperti Kak Sastra. Sekian kesan saya kepada Kak Sastra dari Sanela. I love you Kak Sastra.


Dari: Ni Kadek Dwi Cahyanti
Untuk Kak Sastra,
Saya sangat senang karena Kak Sastra itu baik dan ganteng.


Dari: I Wayan Gede Mus Artawan
Untuk Kak Sastra terima kasih Kak Sastra telah mengajar kami dan mengajar membaca dan menghitung dan bercerita dan Bahasa Bali. Terima kasih kak Sastra telah mengajar kami sampai pintar.


Dari: Ni Komang Indah Septi Ani
Untuk Kak Sastra saya sangat senang belajar bersama Kak Sastra.


Dari: Ica
Aku suka sama Kak Sastra karena Kakak Ganteng


Dari: Lisna
Saya senang belajar di Rumah Cerdas karena Kak Sastra ganteng.

Terima kasih adik-adikku, KAKAK MENCINTAIMU. Sampai bertemu dilain kesempatan. Semoga kita mejadi orang sukses dan tentunya berguna untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

[Ku tulis ini dalam suasana yang haru. Tidak usah dimaafkan kalau ternyata isinya kurang menyentuh, karena concern saya adalah mengarsipkan surat dari adik-adikku, bukan untuk membuat senang orang lain]





Share:

Kawan! Aku Rindu Desa

Ku intip waktu di desktop laptopku. Ah, ternyata baru pukul 22.18 WITA. Waktu masih belum terlalu malam meski serial Mahabrata barangkali sudah bersambung. Akan tetapi, kok dunia berubah begini sunyi? Ku langkahkan kaki dan perlahan kuputar gagang pintu kamarku. Benar! aku sudah di kota.  Tapi, kenapa harus sepi? Bukankah kota seharusnya ramai? Seharusnya selalu hidup? Sebentar ku tenangkan diri kawan. Ku tengok kanan dan kiri dan akhirnya kebingunganku terjawab. Aku sendiri!
Kawan, waktu sekian minggu ku lewati bersamamu bukanlah waktu yang singkat. Banyak hal yang ingin ku ulang bersamamu. (Kamu mau ngulang apa bersamaku?) Banyak hal kawan. Apa kamu sudah siap mendengarkan ku? Yowis, lepas dulu headsetmu biar ndak ada yang kelewatan. Aku ingin bercerita panjang lebar. Kawan, aku rindu desa. Desa dimana dulu kita hidup bersama bak gerombolan bebek. Tapi intinya bukan itu. Aku rindu teriakanmu yang memekakkan telingaku waktu subuh. Kenapa? Karena sekarang aku ndak ada yang ngurus kawan. Tadi saja aku bangun jam 08.00 dan baru bangkit dari tempat tidur jam 09.00. Lumayan kan dapat waktu satu jam baca perkembangan politik tanah air yang carut marut. Yang sudah tidak lagi memikirkan harga diri. Dimana plin plan itu sudah biasa yang penting popularitas diri dan partai meningkat. Sudahlah!
Kawan, kamu tahu nggak? Disini aku sudah meninggalkan kebiasaan kita dulu. Kebiasaan minum kopi atau sekadar teh manis di pagi hari. Disini aku sudah tidak bisa lagi dapat gratis. Jujur, aku ingin kembali ke desa. Kamu pasti masih ingat kan, setiap kita ke rumah Pak Mekel, Pak/Bu Kaur kita pasti dapat kopi/teh manis gratis. Dan syukurnya, itu kopi dan teh pasti ndak berani keluar sendirian. Andai saja kamu bisa membaca pikiranku kawan. Kamu juga pasti tahu tujuanku mengajakmu lancong-lancong bukan hanya biar akrab, tapi biar dapat kopi. Tetapi kalau ke Pak Sekdes, kita pasti dapat Pulpy Orange, Ha..ha..ha. Gimana kalau ke Bu Anomnya? Pasti dapat yang lebih manis lagi, lumayan kan? Begitu kawan. Kamu harus tahu, hidup di masa ini gampang-gampang susah. Kamu harus bisa mencontoh elite kita yang diatas, yang selalu punya maksud lain yang gamblang atau terselubung ketika melakukan tindakan. Tapi mksudku bukan mengajari kamu membawa banyak agenda. Tapi cuma mengingatkan biar kamu ndak melupakan mereka kawan. Mereka yang tulus pantas mendapatkan balasan yang tulus. Jangan sesekali membalas air susu dengan air tuba, kecuali kamu mau ngeracun ikan bolehlah make air tuba.
Sebenarnya masih banyak yang ingin kusampaikan pada mu Kawan, tapi ini waktu sudah larut. Tarik selimut ahhhh….   

Share:

Pak Ahok, Ajarkan Saya

Kami akan mengajukan banding Yang Mulia …”

Masih terbayang suasana ketika menonton sidang vonis terhadapmu beberapa waktu lalu, Pak. Sekitar pukul 12.30 WITA, bersama teman-teman saya menonton detik-detik yang menegangkan tersebut walaupun saya harus berangkat ke Kuta dan mesti tiba disana sebelum pukul 16.00 WITA. Seketika saya lemas ketika Majelis Hakim menyatakan Bapak bersalah karena telah menodai agama dan dihukum selama 2 tahun. Saya hampir tidak percaya mengingat pidato Bapak di Kepulauan Seribu yang menjerumuskan Bapak ke kursi pesakitan tersebut mencuat beberapa hari setelah kejadian. Menurut saya, apabila tidak ada alasan-alasan atau motif-motif dari pihak-pihak tertentu yang ingin menjegal Bapak, Bapak tidak akan sampai pada ujung drama ini dan kemudian harus mendekam di penjara selama 2 tahun. Mengapa demikian? Apabila memang Bapak dianggap menodai agama tertentu, pasti masyarakat ditempat Bapak berpidato sudah melempari Bapak sandal atau sepatu atau apalah. Akan tetapi faktanya tidak demikian kan Pak? Jujur, saya bangga kepada Bapak yang begitu tegar dan secara disiplin mengikuti proses persidangan demi persidangan. Bapak tidak mencari-cari alasan untuk bisa mangkir dari persidangan seperti beberapa politikus pertontonkan (Oh ya, maaf saya lupa. Bapak saya anggap seorang negarawan bukan politikus) yang meskipun banyak kalangan menganggap Bapak tidak melakukan seperti yang didakwakan jaksa. Namun, saya akhirnya sedikit lega ketika Bapak menyatakan banding atas vonis yang diputus majelis hakim. Karena saya ingin melihat karakter-karakter mereka yang menjadi utusan tuhan untuk memberikan keadilan di republik ini. Saya ingin melihat mereka mendapatkan promosi setelah berhasil dengan gagah berani memutus perkaramu dengan hukuman yang bahkan lebih berat.   
Beberapa hari setelah vonis tersebut yang berbarengan dengan aksi-aksi simpati diberbagai penjuru wilayah Indonesia bahkan sampai di luar negeri, saya menunggu berita terkait penangguhan penahanan Bapak. Namun nihil. Justru yang membuat saya terkejut dan bertanya-tanya adalah keputusan Bapak yang justru membatalkan banding? Ada apa Pak? Saya bahkan melongo ketika Ibu Vero sesenggukan membacakan surat tulisan tangan Bapak. Bapak masih Bisa mengatakan,
 “… Saya telah belajar mengampuni dan menerima semua ini jika untuk kebaikan kita dalam berbangsa dan bernegara. Alangkah ruginya warga DKI dari sisi kemacetan dan kerugian ekonomi akibat adanya unjuk rasa yang mengganggu lalu lintas tidaklah tepat saling unjuk rasa dan demo dalam proses yang saya alami saat ini. Saya khawatir banyak pihak yang akan menunggangi jika para relawan unjuk rasa apalagi benturan dengan pihak lawan yang tidak suka dengan perjuangan kita …”.
Seberapa tebal lapisan yang melindungi hatimu sehingga membaja begitu kuat Pak dan tak pernah sakit hati? Bagaimana Bapak tetap memperhatikan kepentingan warga DKI (rakyat banyak) sementara mereka yang bernafsu menjatuhkanmu begitu mementingkan diri sendiri dan kroni-kroninya? Tolong ajarkan saya bertahan untuk bisa tegar sepertimu Pak. Ajarkan saya Pak. Akan tetapi, cukup ajarkan saya untuk bisa bertahan ketika pacar saya lagi ngambek karena MASALAH NEGARA INI TERLAU RUET DAN RUMIT untuk level saya yang masih buta percaturan politik Indonesia yang buas ini.

God Bless You  

Share:

Selamat Nak!

Sore ini sekitar pukul 17.30 WITA aku menyempatkan diri mampir ke “Rumah”. Lengang. Tidak ada seorangpun saudara-saudaraku yang ketemui seperti halnya Ibu dan Bapak, orang tuaku yang sekarang. Meskipun sunyi, tetapku langkahkan kakiku dan duduk di halaman. Seketika, begitu banyak pengalaman mencuat dan membayangi pikiranku. Aku teringat beberapa waktu yang lalu.  
Dulu, ketika aku memilih untuk bergabung menjadi bagian dari keluarga besar ini, bermacam-macam perasaan berkecamuk. Ada rasa takut, ada pula rasa berani dan ingin mencoba. Begitulah perasaan-perasaan yang memang biasa muncul ketika kita memutuskan untuk melakukan sesuatu dan meninggalkan sebuah rutinitas dimana kita sudah merasa nyaman. Ketika itu, aku mulai belajar beradaptasi, hidup bersama dengan saudara-saudraku yang lain. Aku belajar dan membiasakan diri menjadi seorang anak yang baik menurut versiku. Dibawah bimbingan orang tua yang begitu humanis dan saudara-saudaraku yang budiman, banyak pengalaman yang bisa kudapatkan.
Waktu berlalu, kemudian tambahan tanggungjawab diberikan kepadaku. Mungkin aku dipikir sudah cukup dewasa. Namun, selalu aku berpikir apakah itu mimpi atau nyata. Kenapa harus aku yang diminta menjadi salah satu orang tua dari anak-anak yang baru lahir itu? Apakah mungkin secuil pengalaman itu dirasa cukup sehingga bisa dituakan? Entahlah. Akupun mencoba menjadi seorang Bapak yang baik, yang sedikitnya mampu mengarahkan, membimbing, dan mengayomi. Tanggungjawab itupun akhirnya sudah tiba waktunya untuk dicukupkan.
Ketika waktunya tiba, akupun bisa membaca gelagat beberapa anak-anakku yang masih menginginkanku tuk menjadi bapak, akan tetapi orang tua mana yang tidak memberikan kesempatan kepada anak-anaknya yang berpotensi untuk mengembangkan potensi tersebut? Sebagai orang tua, kebijaksanaan itu sangat diperlukan. Hingga aku memutuskan untuk tidak berambisi. Aku lebih mementingkan anak-anakku. Akhirnya merekalah yang melanjutkan tugas dari orang yang sudah uzur ini. Selamat anak-anakku, jadilah orang tua yang bijaksana untuk anak-anak generasi masa depan bangsa ini.  

Share:

Popular Posts

Ad Code

Responsive Advertisement

Ad Code

Responsive Advertisement

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *

Labels